Sabtu, 08 Mei 2010

MENAKAR PERLINDUNGAN HUKUM

HAK NORMATIF PEKERJA/BURUH DALAM INDUSTRIALISASI

Oleh Prof. Dr. Teguh Sulistia, S.H., M.Hum.*

Perlindungan hukum hak normatif pekerja/buruh di Indonesia masih lemah dan membutuhkan peningkatan oleh pemerintah dan serikat kerja yang menaunginya. Para pekerja masih diperlakukan kurang layak oleh pengusaha dalam hubungan kerja dan kegiatan industri. Hubungan tripartite kurang berjalan dengan baik karena kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan cenderung berpihak pada pengusaha daripada pekerja. Akibatnya, sengketa pekerja dan pengusaha tidak dapat dihindarkan dalam hubungan kerja industrial Pancasila. Harmonisasi dalam hubungan kerja ini dapat dilakukan melalui pengembangan sumberdaya manusia dan perlindungan hukum hak normatif pekerja.

A. Pendahuluan

Dewasa ini masalah ketenagakerjaan menjadi isu hangat dengan adanya pelbagai kasus menyangkut hubungan tripartite (pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah) yang kurang harmonis sehingga menimbulkan perselisihan industrial tidak kunjung selesai. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sewenang-wenang, hak-hak normatif tenaga kerja tidak diberikan pengusaha (cuti hamil, sakit, upah, asuransi kesehatan) atau kebijakan pemerintah tidak memihak pada kepentingan tenaga kerja. Akhirnya menyebabkan para pekerja melakukan tindakan brutal seperti perusakan tempat kerja, pemogokan masal dan unjuk rasa jalanan menarik perhatian pengusaha/pemerintah.

Peristiwa hubungan tripartite dalam “dunia industri” kurang harmonis selama ini menjadi masalah menarik dan krusial, karena menyangkut kepentingan banyak pihak. Bagi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan bekerja keras dengan harapan memperoleh upah layak, pengusaha menghasilkan produk manufakturing dan jasa untuk memperoleh keuntungan (profit) guna memenuhi kebutuhan konsumen di dalam dan luar negeri, sedangkan pemerintah memperoleh pajak dan devisa negara untuk membiayai kegiatan pembangunan nasional di seluruh tanah air.

Idealnya, hubungan tripartite ini dapat berjalan harmonis tanpa merugikan salah pihak, terutama hubungan langsung antara pekerja dengan pengusaha. Namun hubungan kedua belah pihak ini tidak berjalan dengan mulus, karena pekerja dirugikan dengan kebijakan pengusaha, terutama upah dan kesejahteraan sosial. Di sisi lain, pemerintah tidak mau belajar pada pengalaman masa lalu menghadapi tuntutan hak normatif pekerja. Pemerintah berpihak pada pengusaha dengan asumsi sektor industri banyak menghasilkan pajak dan devisa negara harus dilindungi meski mengorbankan kepentingan pekerja. Kebijakan pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja tanpa disadari mengorbankan hak normatif pekerja yang mengucurkan keringat demi pengusaha, namun diperlakukan kurang layak demi keuntungan pengusaha dan target perolehan pajak/devisa negara.

Era globalisasi menyebabkan penduduk dunia berada pada satu perkampungan global (global village) yang tidak mengenal akan batas-batas wilayah (borderless world) dengan merambahnya teknologi informasi dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Era teknologi informasi merupakan suatu revolusi industri berbasis pengetahuan yang berguna untuk mencerdaskan umat manusia. Masuknya teknologi informasi dalam dunia industri, langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sikap mental dan pandangan pekerja dalam hubungan kerja dengan pengusaha. Globalisasi merubah “wajah” industri, perdagangan dan ekonomi dunia menjadi kegiatan bisnis dalam “perkampungan global” dengan cepat. Semua ini terjadi pasca Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade - GATT), Putaran Uruguay (Uruguay Round) dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization - WTO) mewujudkan tata dunia baru bidang perdagangan dan bisnis berbasis industri dan pasca industri.

Bagi Indonesia, era globalisasi berarti dihadapkan pada peluang dan tantangan besar yang dihadapi, terutama bagi dunia industri dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Kiranya aspek penting yang harus diperhatikan adalah masalah SDM yang profesional dan andal. Kualitas SDM yang mampu bersaing di pasar global dibutuhkan dalam proses industrialisasi. Selama ini, pekerja masih berkualitas rendah dan dibayar murah tanpa pengusaha dan pemerintah berupaya untuk meningkatkan SDM dalam proses industrialisasi. SDM yang berkualitas tidak sekedar terletak keunggulan komperatif, namun pada keunggulan kompetitif dengan SDM yang mampu produk barang dan jasanya merebut pasar internasional.

Perlindungan hukum bagi pekerja dengan hak normatif yang layak merupakan kebutuhan sangat mendesak untuk tercipta harmonisasi hubungan industrial Pancasila. Masalah ini menjadi krusial dan perlu ditakar, apabila tidak ada keinginan pengusaha dan pemerintah memberikan hak normatif pekerja, perlakuan mitra kerja yang sejajar dan kebijakan pemerintah yang menguntungkan dalam kegiatan dunia industri.

B. Perselisihan Hak Normatif Pekerja//Buruh dalam Globalisasi Ekonomi

Pada era globalisasi ekonomi, hukum responsif sebagaimana dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick tahun 1970-an untuk kebutuhan masyarakat modern merupakan conditio sine qua non tidak bisa dihindarkan. Tujuan hukum responsif untuk menciptakan harmonisasi hubungan individu/kelompok pada kehidupan bersama dan menghilangkan sikap represif penguasa atau pengusaha terhadap pihak yang lemah.

Sumber daya manusia (human resources) adalah penduduk yang siap, mau dan mampu untuk memberikan sumbangan terhadap usaha pencapaian tujuan organisasional. Dalam ilmu kependudukan, konsep ini dapat disejajarkan dengan tenaga kerja meliputi angkatan kerja produktif dalam usia tertentu menghasilkan produk barang dan atau jasa. Angkatan kerja yang bekerja disebut pekerja. Pekerja ini dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, pekerja yang mengandalkan energi kekuatan fisik saja dengan keterampilan sederhana disebut buruh, suruhan atau pekerja kasar sebagai tenaga lepas (tidak organik). Kedua, karyawan adalah tenaga organik tataran dari rendah sampai menengah sedangkan pegawai adalah tenaga organik tingkat menengah dan atas. Istilah pekerja dan karyawan lazim dikenal pada sektor kerja privat atau swasta seperti perusahaan dan usaha jasa, sedangkan pegawai lebih dikenal di lingkungan kerja publik seperti pemerintahan.

Pengembangan SDM sebagai bentuk daya dukung kemampuan produktivitas dari manusia telah lama disadari. Manusia berkualitas lebih penting daripada kuantitas dalam meningkatkan produk manufakturing dan jasa pada globalisasi ekonomi. Tuntutan SDM menghasilkan produk berkualitas tinggi dengan dukungan Sumber Daya Alam (SDA) memadai menjadi syarat mutlak untuk merebut pasar global. Semua berkenaan dengan berlakunya pasar bebas (free market) membuat posisi Indonesia sebagai anggota WTO harus siap bersaing dengan produk negara lain guna menciptakan dan merebut pasar (customized market), baik di tingkat nasional, regional dan internasional. SDM sebagai bagian kegiatan industri harus didukung SDA dalam pembangunan. Artinya, SDM andal dengan dukungan SDA memadai menguntungkan industri negara.

Salah satu teori SDM dengan analisis alat yang digunakan untuk menghasilkan kajian dalam Ilmu Hukum adalah masalah Hukum Ketenagakerjaan, khususnya berkaitan dalam hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha. Analisis alat yang dipakai dapat menjelaskan setiap masalah yang timbul dalam hubungan industrialisasi. Namun permasalahan SDM dalam Hukum Ketenagakerjaan tidak hanya sekedar berbuat atau tidak berbuat (larangan dan anjuran), akan tetapi juga menyangkut dengan kebijaksanaan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk resmi dan diterjemahkan dalam tindakan nyata (action) yang mencakup antara lain undang-undang tenaga kerja, peraturan administrasi, kebijakan dan kemampuan eksekutif untuk menerapkannya.

Proses industrialisasi menghadapi kendala kemampuan iptek terbatas dengan banyak tenaga kerja berkualitas rendah sehingga pemerintah menampung pekerja dalam industrialisasi mengutamakan padat karya (labour intensive industries) daripada padat modal dan padat iptek. Output perusahaan di pasar internasional tidak mampu bersaing dengan negara lain yang menggunakan teknologi tinggi menghasilkan produk berkualitas. Pekerja dibayar pengusaha dengan upah murah dan hak normatif pekerja tidak diberikan karena keterbatasan keuangan perusahaan. Bagi Indonesia, proses industrialisasi kini menuntut SDM yang andal menghadapi globalisasi ekonomi dengan pasar terbuka.

Memperoleh SDM andal dalam sistem produksi dibutuhkan adanya “manajemen operasi” guna diterapkan oleh pengusaha secara konsisten dalam hubungan industrial. Manajemen operasi merupakan manajemen dari sistem tranformasi mengkonversikan input untuk memperoleh output diharapkan perusahaan. Input dikonversikan menjadi barang dan atau jasa melalui proses teknologi. Penggunaan macam-macam input dapat mengubah output dalam sistem operasi produksi menghasilkan produk industri bermutu.

Proses industrialisasi dalam merebut pasar internasional dari output para pekerja, maka perlu dilakukan pendekatan intensif melalui tiga unsur (tripartite), yakni pengusaha, pekerja dan pemerintah memperbaiki keadaan obyektif dengan melakukan tiga cara. Pertama, tenaga kerja harus memiliki keterampilan yang memenuhi permintaan pasar, disiplin dan etika kerja yang tinggi untuk memperoleh efektivitas dan efisien hasil kerja dibandingkan negara lain. Kedua, mengembangkan komunikasi, informasi dan edukasi dengan pemanfaatan iptek agar nilai tambah pekerja dapat dikembangkan dan, Ketiga, mengembangkan SDM jangka pendek, menengah dan panjang ditekankan pengembangan kebugaran jasmani, kemampuan kerja dan sikap terhadap kerja atau etika kerja.

Peristiwa unjuk rasa, pemogokan atau perusakan tempat kerja dan sarana publik adalah gambaran faktual ketidakpuasan para pekerja terhadap hubungan kerja dengan pengusaha dari aturan hukum yang mengatur selama ini. Pemerintah yang seyogianya bertindak sebagai arbiter ternyata ikut pula memperkeruh “dunia perburuhan” karena mengeluarkan undang-undang atau kebijakan ternyata tidak mampu berlaku adil sesuai aspirasi para pekerja yang sering menimbulkan perselisihan tajam. Perselisihan hubungan industrial bermula dari pengingkaran perjanjian kerja bersama (PKB) atau aturan dan kebijakan dinilai berat sebelah merugikan salah satu pihak. Perselisihan tenaga kerja dapat terjadi dalam dua hal. Pertama, pihak pengusaha yang memberikan pekerjaan tidak dapat memenuhi hak pekerja. Kedua, undang-undang dan kebijakan pemerintah dalam hubungan industrial dinilai tidak adil oleh salah satu pihak dan atau kedua belah pihak.

Perselisihan antara pekerja dengan pengusaha selama ini merupakan wujud ketidakharmonisan karena pengingkaran terhadap PKB sebagai hubungan hukum yang mengikat kedua belah pihak dan telah ditandatangani bersama. Ketidakpuasan itu bisa terletak pada masalah hak-hak normatif pekerja seperti faktor upah, jaminan sosial, uang lembur, pesangon dan suasana ketenangan kerja yang kurang kondusif.

Penyebab perselisihan dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, perselisihan hak (rechts geschillen) adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat wanprestasi dilakukan salah satu pihak pelaku proses produksi, yaitu (a) tidak memenuhi isi perjanjian kerja, (b) tidak memenuhi isi perjanjian perburuhan, (c) tidak memenuhi peraturan perusahaan, (d) tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perselisihan hak ini menyangkut pemenuhan hak normatif, baik untuk pemberi kerja maupun penerima kerja. Kedua, perselisihan kepentingan (belangen geschillen). Umumnya terjadi sebagai akibat tidak ada kesesuaian kesepakatan pemberi kerja (majikan/perkumpulan kerja) dengan penerima kerja yang diwakili serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja berkaitan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau kondisi ketenagakerjaan yang ada.

PKB yang diingkari oleh pengusaha atau pekerja, maka perselisihan hubungan industrial segera timbul. Bila tidak tercapai PKB, peristiwa pemogokan, unjuk rasa atau perusakan tempat kerja dapat saja terjadi dilakukan oleh para pekerja yang telah memeras keringat untuk keuntungan pengusaha, karena mereka tidak memperoleh imbalan layak yang menjadi haknya. Sebaliknya, pengusaha tidak akan memberikan hak-hak normatif pekerja, jika pekerjanya tidak memenuhi kewajiban yang diatur dalam PKB.

Perselisihan pekerja dengan pemerintah berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan suatu aturan undang-undang atau keputusan yang tidak melindungi kepentingan pekerja akan tetapi menguntungkan bagi pengusaha. Selama ini, kebijakan pemerintah dinilai tidak memihak yang lemah yaitu para pekerja, namun memihak yang kuat yaitu pengusaha, karena memberi kegunaan yaitu pajak atau devisa bagi negara. Protes dalam usulan perbaikan PKB tidak dipatuhi pengusaha atau kebijakan pemerintah tidak memihak pekerja sehingga pekerja memilih alternatif terakhir melakukan tindakan berupa pemogokan, unjuk rasa dan perusakan yang merugikan semua pihak.

Sebenarnya dengan mengetahui faktor yang mengakibatkan terjadi perselisihan hubungan industrial tersebut, para pengusaha sedini mungkin sudah dapat mencegah atau mengantisipasinya, apabila tuntutan pekerja itu dipenuhi sesuai kemampuan perusahaan. Bukankah dalam undang-undang tenaga kerja dan PKB, hak-hak dan kewajiban pekerja sudah diatur dengan baik Begitu juga hak dan kewajiban pengusaha terhadap para pekerja sehingga ada kesamaan visi dan misi pada harmonisasi kerja saling menguntungkan.

Pengusaha yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan pekerja berusaha maksimal memenuhi tuntutan para pekerja manakala sesuai UU No. 13 Tahun 2003 dan kemampuan perusahaan berusaha menyisihkan sebagian keuntungan bagi pekerjanya. Pengusaha sebaiknya menghindarkan penyelesaian perselisihan berdasarkan pendekatan struktural (atasan-bawahan) atau pendekatan keamanan (security approach) melalui tindakan kekerasan oleh polisi dan tentara sebagaimana terjadi masa Orde Baru dalam menyelesaikan setiap bentuk unjuk rasa dan pemogokan pekerja. Kasus terbunuh pekerja Marsinah di Sidoarjo tahun 1993 menjadi salah satu contoh betapa buruknya pendekatan keamanan karena kurang menghargai hak asasi para pekerja “diterapkan” oleh pengusaha bekerjasama dengan aparat keamanan dalam hubungan industrial Pancasila

Pendekatan terbaik dilakukan pengusaha adalah pendekatan fungsional berupa kemitraan yang saling menghargai dan menghormati hak dan kewajiban para pekerja dengan pengusaha. Pendekatan ini untuk menghindarkan konflik pengusaha dengan pekerja melalui jalan musyawarah melahirkan kesepakatan bersama. Saling mendukung dan menghormati hak dan kewajiban merupakan upaya terbaik untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang timbul. Sebaliknya, menggunakan kekuatan atau kekerasan pada perselisihan kerja tidak menyelesaikan masalah bahkan menggambarkan tidak ada kemitraan yang baik antara pekerja dengan pengusaha yang menghambat proses produksi dan juga tidak saling menghormati dalam hubungan industrial Pancasila.

C. Pengembangan SDM dan Perlindungan Hukum Pekerja

Pemberian hak-hak normatif pekerja oleh pengusaha biasanya disesuaikan dengan kemampuan kerja dari pekerja dan kemampuan keuangan perusahaan. Perlakuan kurang layak dalam pemberian hak normatif pekerja oleh pengusaha menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Keadaan ini bertambah parah dengan tidak ada upaya pengusaha meningkatkan SDM bagi para pekerja dan lingkungan.

Program pengembangan tenaga kerja dalam dunia industri merupakan suatu konsep dan operasional untuk pengembangan potensi SDM, khususnya potensi generasi muda merupakan kekuatan efektif untuk pembangunan nasional dengan manusia yang berkepribadian, cerdas, disiplin, ahli dan terampil, produktif serta memiliki motivasi tinggi dan mental mantap, sesuai kebutuhan pembangunan industri dan pasca industri. Kondisi demikian relevan dengan kebutuhan industri modern pada masa depan, yaitu masyarakat informasi dalam arti kegiatan pasca industri adalah berbasiskan pada industri dapat yang menghasilkan produk barang dan atau jasa berkualitas tinggi.

Pengembangan SDM pekerja industri dapat dilakukan melalui tiga jalur, yaitu jalur pendidikan formal, jalur pelatihan kerja dan jalur pengembangan diri dari pekerja. Jalur pendidikan formal lebih mengutamakan pada pengembangan kepribadian, bakat, sikap mental, pengetahuan, kecerdasan dan daya manusia menyerap ilmu pengetahuan. Pelatihan kerja lebih menekankan pada pengembangan profesionalisme sesuai dengan kemajuan teknologi dan syarat jabatan atau pekerjaan disediakan oleh setiap perusahaan modern yang memperhatikan SDM. Sistem ini banyak digunakan dalam dunia usaha. Pengembangan diri merupakan usaha pekerja untuk meningkatkan kemampuan secara mandiri dalam persaingan kerja sehingga produk industri semakin berkualitas dan mampu bersaing dengan produk perusahaan negara lain.

Pelatihan kerja dewasa ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan yang ingin maju dengan SDM yang andal. Fungsi pelatihan kerja bagi para pekerja pada kegiatan industri dalam lima bentuk. Pertama, pelatihan kerja merupakan pelengkap pendidikan formal. Dalam hal ini, pelatihan kerja menjembatani antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Kedua, beberapa jenis pengetahuan dan keterampilan kerja tidak disiapkan dan diberikan melalui sistem pendidikan formal. Pengetahuan dan keterampilan demikian diberikan dan disiapkan melalui latihan dan pengalaman kerja. Pelatihan kerja merupakan pelengkap terhadap sistem pendidikan. Ketiga, jalur pendidikan formal hanya menggunakan sistem yang pelaksanaan memerlukan waktu yang cukup lama dengan jumlah peserta tertentu dan penguasaan bahan yang cukup banyak. Selain itu, pelatihan kerja dilakukan dengan kurikulum khusus dan terbatas pada jenis keterampilan dibutuhkan untuk persyaratan pekerjaan tertentu sehingga pelaksanaan menjadi lebih singkat dan biayanya lebih murah. Keempat, dunia perekonomian ditandai dengan perkembangan teknologi sangat cepat, sehingga pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja selalu ditingkatkan dan disesuaikan sejalan dengan perkembangan teknologi tersebut. Penyesuaian ini mudah diupayakan melalui sistem pelatihan kerja daripada sistem pendidikan formal menuntut kurikulum belajar dan memerlukan waktu lama. Kelima, program pelatihan kerja juga diperlukan untuk promosi dan mutasi karyawan yang memerlukan keterampilan baru.

Pelaksanaan pelatihan kerja untuk meningkatkan produktivitas pekerja dilakukan pelatihan dalam bentuk in service training, on the job training, magang atau cara lain. Masing-masing pelatihan kerja tersebut dapat dipilih oleh para pengusaha tergantung dengan kebutuhan dan kondisi perusahaan tersebut. Plaksanaannya harus memperhatikan “trilogi pelatihan kerja”, yakni (1) pelatihan kerja harus sesuai dengan pasar tenaga kerja, (2) pelatihan kerja harus senantiasa mutakhir sesuai perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) pelatihan kerja merupakan kegiatan bersifat terpadu, dalam arti proses industrialisasi menjadi kebutuhan hubungan kerja dan usaha mandiri.

Program pelatihan kerja dalam meningkatkan SDM pekerja akan berhasilguna dengan pengembangan pedoman teknis (technical manual) bagi jenis keterampilan kerja. Pedoman ini diharapkan setiap pekerja dapat memperoleh persiapan kerja yang baik dan mampu mengembangkan keterampilan secara lebih luas. Selain itu, perlu dikembangkan adanya check list bagi peserta pelatihan dapat membimbing dalam berinteraksi dengan pekerja lain atau pekerjaan secara lebih optimal mengingat semakin ketatnya kompetisi produk barang dan atau jasa dari perusahaan sejenis dan negara asing.

Kegiatan pemantauan dan evaluasi dari pelatihan kerja selama ini merupakan bagian yang amat penting bagi pengusaha untuk melihat sejauh mana kemampuan kerja para pekerja dapat meningkat untuk memacu produktivitas perusahaan yang diharapkan. Hasil pelatihan kerja yang baik biasanya meningkatkan produktivitas dan kualitas barang dan atau jasa sehingga tawar menawar (bargaining position) melalui serikat pekerja memperoleh upah yang baik dan layak dari pengusaha tercapai. Semua ini merupakan tujuan ideal perlindungan hukum hak normatif pekerja dalam kegiatan industrialisasi yang terwujud dengan sehatnya perusahaan dan ekonomi pekerja bersaing dengan produk dari negara lain yang cukup deras masuk ke Indonesia akibat adanya pasar bebas.

Hak-hak normatif pekerja sudah selayaknya diberikan pengusaha untuk tercipta harmonisasi hubungan industrial yang baik, jika pekerja telah menunaikan kewajibannya. Perselisihan hubungan industrial yang merugikan kepentingan pekerja selama ini sebagai pihak yang lemah, maka sudah selayaknya hak-hak normatif pekerja ini dilindungi oleh pemerintah dari tindakan sewenang-wenang pengusaha menganggap pekerja sekadar “alat produksi” yang dapat diperas tenaganya, karena mengutamakan keuntungan pribadi tanpa mempedulikan nasib pekerjanya yang membutuhkan kesejahteraan yang layak.

Di sini perlindungan hukum terhadap hak normatif pekerja dapat dilakukan oleh pemerintah yang bertindak sebagai “arbiter” atau wasit dari perselisihan pekerja dengan pengusaha dan atau pemerintah dengan putusan saling menguntungkan. Terapi yang dapat dipakai untuk menyelesaikannya adalah menggunakan mekanisme penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan yang ada di perusahaan atau lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan bertindak adil. Perangkat hukum yang diterbitkan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini tetap pada koridor nilai-nilai keadilan dalam bentuk kepastian hukum bagi pekerja dan pengusaha. Aturan hukum yang dibuat adalah untuk memberikan jaminan kepastian bahwa hak dan kepentingan para pihak yang berselisih tidak dilanggar. Perjanjian kerja mengatur hak dan kewajiban pekerja dengan pengusaha dibuat menggunakan prinsip keadilan “neminem laedere” (jangan merugikan orang lain) dan “unicuiqui suum tribuere” (berikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).

Penyelesaian perselisihan industrial untuk melindungi hak normatif pekerja dapat ditempuh melalui cara. Pertama, penyelesaian perselisihan secara damai atau sukarela. Penyelesaian ini dapat dilakukan kedua belah pihak melalui jasa dari pegawai perantara. Kedua, penyelesaian perselisihan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). Ketiga, penyelesaian perselisihan pada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Kedua belah pihak mengehendaki pemeriksaan ulang melalui P4P untuk memperoleh keputusan yang bersifat mengikat sehingga tidak bisa dimintakan banding atau pemeriksaan ulang. Keempat, Menteri Tenaga Kerja dapat membatalkan atau menunda pelaksanaan P4D maupun P4P melalui kebijakan yang disebut “hak veto”, terutama menyangkut keselamatan dan kepentingan negara. Kelima, apabila dikehendaki kedua belah pihak, perselisihan dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase, yaitu P4P. Putusan P4P tidak dapat diminta pemeriksaan ulang (banding), Keenam, peradilan umum. Posisi peradilan umum dalam hal terjadi perselisihan perburuhan adalah sebagai lembaga menguatkan putusan instansi terkait yang memutuskan perselisihan, yaitu mengeluarkan executoir verklaring, jika diminta salah satu pihak sebagai jalur terakhir bidang hukum.

Selanjutnya perlindungan hak normatif pekerja adalah melarang pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan sewenang-wenang. Tindakan PHK tanpa melalui prosedur dan PKB yang benar sudah jelas merupakan pelanggaran hukum dan dilarang oleh undang-undang, karena perbuatan tersebut merugikan salah satu pihak, yakni pekerja/buruh. PHK dalam UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai perbuatan dilarang keras apabila dilakukan pengusaha tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Tindakan PHK oleh pengusaha tanpa prosedur hukum berarti melanggar perjanjian kerja disepakati dengan pekerja yang dapat berbuntut pada masalah hukum ketenagakerjaan.

PHK dapat terjadi dalam empat bentuk, yakni (1) PHK dari pihak majikan atau pengusaha, (2) PHK dari pihak tenaga kerja/buruh, (3) PHK demi hukum, dan (4) PHK berdasarkan keputusan pengadilan. Bentuk PHK paling banyak terjadi pasca reformasi dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerjanya. Pengusaha melakukan PHK terutama alasan bangkrut (failit) atau pekerja membocorkan rahasia perusahaan.

Menurut Pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dilarang melakukan PHK dalam sepuluh hal. Pertama, pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus. Kedua, pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaan karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai peraturan perundang-undangan berlaku. Ketiga, pekerja/buruh menjalankan ibadah diperintahkan agama. Keempat, pekerja/buruh menikah. Kelima, pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui. Keenam, pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lain dalam satu perusahaan kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Kedelapan, pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat kerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja atau dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Kesembilan, pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada pihak berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana atau kejahatan. Kesepuluh, perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan. Kesebelas, pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja menurut surat keterangan dokter jangka waktu penyembuhan belum dapat dipastikan.

Selain adanya larangan PHK di atas, pekerja berdasarkan Pasal 169 UU No. 13 Tahun 2003 juga dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial karena pengusaha melakukan tindakan (1) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh, (2) membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, (3) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, (4) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh, (5) memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang telah diperjanjikan, atau (6) memberikan pekerjaan yang amat membahayakan pada jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan dari pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

Sebenarnya perjanjian kerja diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dalam kegiatan industri. Sebaliknya, majikan perlu pula mengamankan rahasia perusahaan dari pekerja yang akan membocorkannya kelak apabila terjadi PHK. Seyogianya, harus ada klausula tambahan tertentu menjamin masa depan pekerja dari segi finansial atau kesejahteraan sehingga mereka tidak akan merugikan perusahaan dan keamanan rahasia perusahaan dari kebocoran akibat inefisiensi sektor usaha industri.

Ada tiga bentuk klasula tambahan dapat dipilih pengusaha dalam perlindungan perusahaan dari pembocoran rahasia perusahaan oleh pekerja.

Pertama, confidentially agreement (perjanjian kerahasiaan), yakni perjanjian yang dimaksudkan untuk menjaga bocornya rahasia perusahaan setelah pekerja meninggalkan perusahaan tempat kerja lama atau pada waktu pekerja yang bersangkutan masih bekerja. Perjanjian ini juga akan mengatur konsekuensi hukum apabila pekerja tidak mematuhi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. Pekerja dapat meminta kompensasi berupa uang untuk menjamin kerahasiaan. Klausula tambahan ini mengatur kompensasi untuk menjaga kerahasiaan dan konsekuensi hukum apabila tidak dipenuhi oleh pengusaha.

Kedua, post employment contract atau perjanjian pasca kerja. Perjanjian ini dimaksudkan agar pekerja memenuhi perjanjian yang disetujui bersama para pihak, yaitu apabila setelah bekerja di suatu perusahaan, maka harus dapat memenuhi dua hal yakni (1) pekerja tidak boleh bekerja di perusahaan sejenis untuk kurun waktu yang tertentu, dan (2) pekerja berhak mendapatkan sejumlah kompensasi atas kesediaannya tidak bekerja di perusahaan sejenis untuk kurun waktu tertentu.

Ketiga, covenant not to competition (perjanjian untuk tidak bersaing). Perjanjian ini dimaksudkan untuk mencegah adanya persaingan tidak sehat antara pekerja yang telah mengundurkan diri atau berhenti dengan perusahaan yang ditinggalkannya. Perjanjian ini sangat penting mengingat pekerja tersebut merupakan tenaga ahli yang menguasai semua rahasia perusahaan sehingga pengusaha mengkhawatirkan ia akan mendirikan perusahaan sejenis untuk menyaingi perusahaan yang telah ditinggalkannya.

PKB antara pekerja dengan pengusaha merupakan bentuk perjanjian kerja yang berimplikasi pada hukum perdata. Perjanjian kerja ini bersifat individual karena yang menandatangani adalah individu pekerja yang mencari kerja dengan pengusaha yang memberikan pekerjaan. Ditandatanganinya perjanjian kerja tersebut menimbulkan akibat hukum mengikat kedua belah pihak, baik pekerja maupun pengusaha. Perjanjian kerja merupakan pegangan yuridis awal dan juga rujukan yuridis akhir dari subyek-subyek hukum yang terlibat pada pelaksanaan kerja dalam PKB. Jaminan hak dan kewajiban, para pihak merasa lebih aman, tenang dan terjamin masa depan yang membuahkan kerja efisien, efektif dan produktif untuk kemajuan perusahaan menghadapi persaingan produk dengan negara lain mempraktikan sistem dan kebijakan dagang dalam bentuk dumping. Praktik dagang demikian merugikan produk barang dan atau jasa dari negara berkembang karena kalah bersaing dengan mutu, harga dan bentuk yang lebih baik dan murah.

Semua bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak normatif pekerja bertujuan harmonisasi hubungan kerja dan hubungan hukum pekerja dengan pengusaha dalam proses industrialisasi. Di sini dibutuhkan kesadaran dan kepedulian tinggi oleh pengusaha terhadap nasib para pekerja yang telah bekerja keras untuk kemajuan perusahaan.

D. Penutup

Studi normatif dalam perlindungan hukum para pekerja atau buruh di Indonesia menunjukkan masih rentannya kemampuan mereka untuk memperoleh hak-hak normatif yang layak diberikan oleh pengusaha atau kebijakan pemerintah, khususnya Depnaker RI yang secara langsung maupun tidak langsung tidak memihak pada kepentingan pekerja. Para pekerja masih dianggap sebagai “alat produksi” semata yang harus bekerja keras untuk keuntungan bisnis pengusaha dan perolehan pajak atau devisa bagi negara tanpa ada kepedulian terhadap kesejahteraan, nasib dan masa depan pekerja.

Kemampuan hukum untuk melindungi hak-hak normatif pekerja sebenarnya sudah cukup baik. Landasan idiil, konstitusional dan operasional hanya mengatur secara umum dan belum menyentuh pada hak-hak normatif yang dituntut pekerja. Adanya revisi Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150 Tahun 2000 dan pembaruan UU Tenaga Kerja merupakan contoh selama ini hak-hak normatif pekerja masih lemah dan kurang kondusif bagi kepentingan para pekerja, karena lebih menguntungkan para pengusaha.

Untuk meningkatkan kemampuan SDM para pekerja yang lebih andal, maka pengusaha atau perusahaan dapat melakukan melalui jalur pendidikan formal, pelatihan kerja dan pengembangan pribadi. Pelatihan kerja banyak dipilih oleh pengusaha untuk memperoleh SDM pekerja andal di dalam waktu singkat yang dilakukan dengan cara pelatihan “in service training”, “on the job training”, magang ataupun cara lain.

Pada proses industrialisasi untuk merebut pasar internasional, setiap pengusaha dan perusahaan mutlak memperhatikan produk barang dan atau jasa berkualitas tinggi pada masa depan. Globalisasi ekonomi kini menuntut produk barang dan atau jasa Indonesia untuk mampu bersaing dengan negara lain agar supaya memperoleh nilai tambah bagi perusahaan dan pekerja dan pajak/devisa bagi negara.

Perlindungan hukum terhadap hak normatif pekerja oleh pengusaha diberikan yang layak sesuai ketentuan perundang-undangan, kemampuan kerja dari para pekerja dan kemampuan keuangan perusahaan supaya tercipta harmonisasi hubungan kerja dan kesinambungan produksi perusahaan. Kebijakan pemerintah dalam bentuk keputusan menteri tenaga kerja yang mengatur hubungan hukum dan hak normatif pekerja dengan pengusaha harus saling menguntungkan tanpa merugikan salah satu pihak.

Bahan Bacaan :

Achmad Ichsan, 1986, Dunia Usaha Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

Alan Hunt,1978, The Sociological Movement in Law, The Macmillan Press, Ltd, London

Anthony Allot,1980, The Limits of Law, Butterworth, London.

Daniel Bell, 1978, The Coming of Post Industrial Society, Dialog, Vol. 11 No. 2.

Gunther Teubner, 1983, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law, Law & Society Review, Vol. 17 No. 2.

H.S Kartadjoemena, 1997, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, Jakarta.

Iman Soepomo, 1994, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta.

John Naisbitt dan Patricia Aburdene, 1990, Megatrends 2000, William Marrow & Co Inc, New York.

Lanny Ramli, 1998, Pengaturan Ketenagakerjaan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.

Robert Heilbroner, 1978, The Human Prospect, Dialog, Vol. 11 No. 2.



* Guru Besar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar